PARIGI MOUTONG – Anggota Komisi III DPRD Parigi Moutong, Muhammad Basuki, mempertanyakan transparansi dan validitas daftar undangan rapat pembahasan penambangan emas di Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, yang digelar pada Senin, 20 Oktober 2025.
Basuki menyoroti adanya sejumlah nama dalam daftar undangan rapat yang diduga tidak memiliki kapasitas jabatan atau keterkaitan langsung dengan pembahasan tambang tersebut.
“Dari daftar undangan nomor 41 sampai 45 itu bukan karena jabatannya, tapi perorangan, itu siapa Pak? Jadi mohon dijelaskan, karena kalau hadir tanpa kapasitas resmi, ini bisa menimbulkan pertanyaan,” ujar Basuki dalam rapat Paripurna DPRD, Selasa malam, (21/10).
Berdasarkan undangan rapat tertanggal 19 November 2024 yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Parigi Moutong, rapat tersebut merupakan tindak lanjut pembahasan teknis terkait aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat.
Lampiran undangan menunjukkan sebanyak 45 nama penerima undangan, terdiri dari unsur Forkopimda, kepala OPD teknis, camat, kepala desa, hingga sejumlah ketua koperasi produsen di wilayah Kayuboko, Air Panas, dan Olaya. Namun, pada urutan 41 hingga 45 tercantum nama perorangan seperti Ibrahim Kulas, S.Pd, Moh. Maarif, S.Kom, Olvan Day, Kisan, dan Erik Agan tanpa keterangan jabatan.
Menurut Basuki, kehadiran individu tanpa kapasitas jelas dalam rapat resmi berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap proses pengambilan kebijakan di daerah.
“Kalau hadir sebagai kepala desa atau ketua koperasi masih bisa dipahami, tapi kalau tidak punya jabatan atau posisi formal dalam struktur, ini perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan dugaan lain,” tegasnya.


Selain menyoroti daftar undangan, Basuki juga mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru membuka tambang emas tanpa kajian ilmiah yang komprehensif. Ia menilai keputusan terkait pertambangan harus melibatkan analisis geologi, tata ruang, serta kajian dampak lingkungan.
“Harusnya ada kajian dulu, seberapa besar potensi emasnya, di mana titik-titiknya, dan bagaimana kesesuaian dengan tata ruang serta lahan pertanian. Kalau semua jelas, enak kita bicara,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya koordinasi lintas instansi seperti Dinas PUPR, Dinas Pertanian, dan Dinas Lingkungan Hidup agar kebijakan tambang tidak menimbulkan konflik sosial atau persoalan hukum di kemudian hari.
“Kalau transparan dan sesuai aturan, masyarakat juga akan percaya. Tapi kalau terburu-buru tanpa kajian, justru bisa jadi masalah,” pungkasnya.*







