PALU – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah menggelar sosialisasi dan edukasi pencegahan pernikahan usia anak, di Palu, Senin, 6 November 2023.
Kegiatan ini, diikuti peserta dari unsur Dharma Wanita Persatuan (DWP) Provinsi Sulawesi Tengah, Tim Penggerak PKK, Ormas perempuan, OSIS SMA, dan forum anak.
“Dampak-dampak pernikahan anak sangat merugikan bagi masa depannya,” kata Asisten Administrasi Umum, M. Sadly Lesnusa, membacakan sambutan Gubernur.
Dampak tersebut, di antaranya anak terpaksa putus sekolah, menjadi takut dan malu bergaul karena psikologinya terguncang.
Dari pernikahan itu, mengakibatkan anak yang melahirkan mengasuh dan membesarkan. Padahal, yang bersangkutan sendiri belum memiliki kemampuan cukup untuk menjadi orang tua.
Olehnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah telah berkomitmen untuk menghentikan praktek-praktek perkawinan anak dengan pendekatan multisektoral.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan sosialisasi dan edukasi ini, sebagai momentum dalam mendukung gerakan siap gencar cegah pernikahan anak,” ujarnya.
Ia juga berpesan agar seluruh peserta dapat menjadi motor dan penggiat pencegahan perkawinan anak dengan membagikan kembali informasi dari kegiatan ini, ke lingkungannya masing-masing.
“Dengan begitu semoga Sulawesi Tengah tidak lagi termasuk dalam lima besar provinsi dengan angka perpernikahan anak tertinggi di Indonesia,” pungkasnya.
Diketahui, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2022, angka pernikahan anak di Sulawesi Tengah, mencapai 12,65% dan menduduki peringkat kelima secara nasional.
Hal ini, diperkuat lagi data Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Tengah yang menyebutkan lima daerah dengan angka pernikahan anak tertinggi, yakni Parigi Moutong, Buol, Banggai, Tojo Una-una dan Palu.
Padahal dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, khususnya pada pasal 7 ayat 1 disebutkan perkawinan hanya diizinkan bila pria dan wanita telah berusia 19 tahun. *TheOpini