PARIGI MOUTONG – Jumlah penerima Beras Sejahtera (Rastra) di Parigi Moutong hanya
sebanyak 38.413 Kepala Keluarga (KK) dari total 52.405 penduduk miskin berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT).
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Parigi Moutong, Arman Maulana mengatakan, data penerima rastra sebanyak 38.413 masih sama dengan data di tahun 2017, yang tidak ada progres penurunan jumlah penerima manfaat.
“Hanya tahun 2016 yang ada kenaikan ke tahun 2018. Kalau data tahun 2017-2018, angkanya tetap sama,” ujar Arman kepada Songulara, kemarin.
Saat ini katanya, penyaluran Rastra ditangani secara serius oleh tim koordinasi yang terdiri dari Sekertaris Daerah, Dinsos, Asisten membidangi Kesra, Bagian Ekonomi berdasarkan data terpadu dari Kementerian Sosial dengan model pendistribusian rastra dari Bulog ke titik distribusi di desa hingga ke titik bagi.
Ia menambahkan, berdasarkan aturan per 1 Januari 2018, rastra digratiskan untuk masyarakat, namun tejadi pengurangan besaran jumlah yang diterima. Saat ini, satu KK hanya menerima 10 kilogram rastra setiap bulan tanpa uang tebus.
Berbeda di tahun 2017 kata dia, per KK menerima 15 kilogram dengan uang tebus sebesar Rp1.600 per kilo.
“Ini akan berlaku hingga TW IV tahun 2018, karena di tahun 2019 akan berubah mekanisme penyaluran. TW IV tahun 2018 ini, untuk Sulawesi Tengah, Kota Palu sudah melalui mekanisme bantuan pangan non tunai, dimana masyarakat tidak lagi menerima dalam bentuk beras. Tetapi, melalui kartu combo yang disubsidi nilai uang Rp110 ribu per bulan untuk penggunaan pembelian beras dan telur,” terangnya.
Ia menambahkan, mengacu pada angka BDT penduduk miskin yang menerima bantuan sosial diklasisfikasi dalam tiga strata, yaitu penerima program keluarga harapan yang dianggap klaster paling bawah, penerima rastra dan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (PBIJKN).
Ia menyebutkan, masyarakat terkategori miskin dibagi tiga kelas, penerima PKH sebanyak 28 ribu lebih, penerima rastra 38. 413 dan penerima PBIJKN 230 jiwa. Kemungkinan, dari penerima manfaat tersebut, ada yang belum masuk dalam BDT, karena saat ini masih dalam batas verifikasi dan validasi data.
Ditanya terkait, kecendrungan menentukan penghitungan jumlah penduduk miskin berbasis penerima bantuan sosial, Arman mengaku hal itu tidak bisa dijadikan acuan secara menyeluruh, namun anggapan itu tidak disangsikan.
“Saya kira pemikiran itu tidak bisa juga dibantah kecendruangannya. Tetapi untuk menentukan orang miskin itu berdasarkan hasil pendataan BPS yang dimutakhirkan tahun 2015, data itu menjadi acuan sehingga ada angka sebanyak 52. 405 yang masuk dalam BDT,” terangnya.
Menurutnya, jika dihitung rata-rata dalam keluarga terdapat empat orang, bisa jadi hampir 200 ribu jiwa yang masuk kategori miskin karena penghitungan dalam BDT adalah per KK, bukan per orang.
Tidak heran, angka itu terbilang besar dan perhitungan penetapan angka kemiskinan tinggi dibanding Provinsi Sulawesi Selatan dengan Rp380 ribu kebutuhan kalori per orang per bulannya. Sedangkan untuk Provinsi Sulawesi Tengah hanya Rp340 ribu dan mempengaruhi kenaikan angka.
Terkait perbedaan angka tersebut, Arman mengaku sudah menanyakan sistem penghitungan tersebut ke forum-forum resmi, bahkan ke Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Tengah dan belum ada penjelasan terkait hal itu.
“Kenapa harus berbeda, saya tidak paham dan orang Bappelitdangda sudah pernah sanggah data tersebut. Mungkin ada perhitungan tertentu. Yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Parigi Moutong karena adanya wilayah yang dihuni penduduk komunitas adat terpencil di lima kecamatan. Angka tersebut berpengaruh besar terhadap jumlah kemiskinan dan itu tidak bisa dipungkiri,”.FAIZ