Oleh : Arman Maulana S Pd, M Si.
Penyandang disabilitas grahita adalah individu yang memiliki integritas yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Penyandang disabilitas grahita merupakan keterbelakangan mental, dimana keadaan ini dikenal juga retardasi mental (Mental Retardasi).
Penyandang disabilitas grahita (cacat ganda) adalah seseorang yang mempunyai kelainan mental atau tingkah laku akibat keadaan yang terganggu, adakalanya cacat mental di barengi dengan cacat fisik sehingga di sebut cacat ganda(Grahita ganda atau grahita sedang dan berat) misalnya cacat intelegensi yang mereka alami di sertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat mata), ada juga yang di sertai dengan gangguan pendengaran dan lain-lain.
Para penyandang disabilitas grahita dalam penjangkauan dan pembinaan pengetahuan dan keterampilan akan melibatkan para stakeholder dengan melihat kondisi fisik dan kemampuan masing-masing yang pelaksanaanya dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
Retardasi mental ringan masuk dalam kelompok dapat di latih dan dididik
Retardasi mental sedang masuk dengan kelompok mampu latih
Retardasi mental berat masuk dalam kelompok mampu rawat dan pembiasaan diri.
Adapun para stackholder yang terlibat dalam jangkauan dan pembinaan tersebut adalah stakeholder yang memiliki pengaruh dan memiliki kemampuan serta kepentingan dengan permasalahan tersebut. Para stakeholder yang di maksud adalah Bupati, Kementrian social, Wakil Bupati, DPRD, sekda, okp, pers, masyarakat, Karangtaruna, pendamping dan coordinator PKH, para OPD terkait, SLB, Lembaga/panti, Camat dan Kepala Desa, keterlibatan para stakeholder tersebut akan melakukan penjangkauan dan pembinaan untuk membentuk atau mewujudkan kemandirian para penyandang di sabilitas grahita. Adapun alasan dan pertimbangan saya memilih dan mengangkat masalah penyandang disabilitas grahita (keterbelakangan mental) adalah :
Pertama, keterpangilan jiwa terhadap anak-anak berkebutuhan khusus untuk mewujudkan kemandirian dalam kehidupan sehari hari melalui penjangkauan dan pembinaan agar memiliki keterampilan dan pengetahuan serta pembiasan diri, perilaku adaftif. Kedua, mereka ini adalah anak anak Indonesia yang diyakini benar di tengah tengah kekurangan yang mereka miliki tersimpan potensi anak yang perlu di kembangkan. Ketiga awalnya kehidupan mereka ini ibarat sebuah kehidupan yang gelap gulita, mereka membutuhkan cahaya, pelita untuk menerangi kehidupan mereka yang membuat mereka tidak berdaya / tidak memiliki kemandirian.Ketiga hal tersebut yang melatar belakangi pemikiran kami untuk mengangkat masalah tersebut.
Penulis adalah Kepala Dinas Sosial Arman Maulana S,Pd M,Si yang saat ini sementara mengikuti pendidikan dan pelatihan kepemimpinan tingkat II di LAN Makassar. Beliau sudah menjadi aparatur sipil Negara sejak tahun 1987 dan menjadi Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II) sejak 2 Januari 2015. Dilantik menjadi Kepala Dinas Sosial pada bulan Maret 2016.***