Berawal dari Tokoh sentral Puatta Kacci yang memindahkan pusat kekuasaannya dari Kasimbar ke Moutong dan menjadi titik awal berdirinya kerajaan Moutong, nama lain Puatta Kacci yaitu Iskandar Saboenge diberi gelar Arajang Taunae Raja Moutong pertama tahun1820, setelah Iskandar Saboenge meninggal digantikan oleh putranya bernama Magalatung diberi gelar Pua Datu Mula.
Magalatung menikah dengan Minarang putri Magau Tampapopa,Tomini pernikahan
ini dikaruniai dua anak yaitu Pondatu dan Pabu. Magalatung juga menikah dengan Puang Yunde keturunan Raja Pamboang Mandar dan dikaruniai seorang putra bernama Massu. Magalatung menikah lagi dengan Tanauba dan di karuniai tiga orang anak
yaitu Dae Masiri, Dae Mapato dan Dae Mara.
Magalatung atau Pua Datu Mula meninggal, kerajaan Moutong di jabat oleh Mangkau berkuasa hingga tahun 1881, setelah Raja Mangkau tahta kerajaan dipegang oleh Pondatu berkuasa sejak tahun 1881 hingga wafat tahun 1892.
Pondatu menikah dengan Cabaik dan memiliki lima orang anak, yakni Yaman, Lapahana, Borman, Sambudo dan Capele. Saat Pondatu meninggal, anak sulungnya bernama Yaman masih berusia 17 tahun dan putra keduanya bernama Borman berusia 12 tahun, terjadi transisi kerajaan, diluar dugaan Daeng Malino diangkat oleh Belanda sebagai Raja Moutong, Daeng Malino wafat tahta kerajaan di pegang oleh Borman (1907-1923).
kembali ke Raja Magalatung.
Raja Magalatung mempersunting Pua Yunde (istri kedua) keturunan Raja Pamboang-Mandar dan dikaruniai seorang putra bernama Massu. Massu menikah dengan keluarga dekatnya bernama Pua Lara, dari rahim Pua Lara lahir anak laki-laki bernama Tombolotutu dan anak perempuan Pa’e.
Sebelumnya menikah dengan Lakaiyang (istri pertama), seorang keturunan Arajang Sendana yang tinggal di Walea pernikahan ini menurunkan tiga orang anak bernama Pawajoi, Makarau dan Pasuniang. Kemudian Tombolotutu menikah dengan Pua Pika putri Sappewali Raja Toribulu, dari rahim Pua Pika lahir Kuti Tombolotutu. Semasa bergerilya di kepulauan Togean, Tombolotutu menikah dengan Bungadara yang menurunkan seorang putra bernama Daeng Matupu.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, Tombolotutu menjadi istimewa, namanya melegenda dan menghiasi ruang kota antara lain seperti jalan Tombolotutu di Kelurahan Talise Kota Palu, rumah sakit Tombolotutu, Taman Kota Tombolotutu di Tinombo Kabupaten Parigi Moutong bahkan namanya banyak dijumpai dalam berita media asing, laporan resmi dalam bahasa Belanda pada abad XIX.
Secara khusus Tombolotutu masuk dalam usulan pahlawan nasional, bila kemudian keputusan politik menetapkannya, maka tentu generasi pertama Sulawesi Tengah yang menyandang gelar tersebut, secara normatif berpeluang karena memenuhi syarat pengusulan Pahlawan Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Kalau kita memutar balik sedikit arah jarum jam sejarah pada tanggal 26 september 1898, Ketika itu, Tombolotutu atau biasa disebut Pua Dara, manabuh gendang perang saat diundang oleh Raja Moutong Daeng Malino untuk membicarakan persoalan sosial politik dan ekonomi serta kerjasama Moutong dengan Belanda.
Sikap tegasnya terlihat saat disambut Daeng Malino, tangan kanannya memegang hulu keris isyarat siap menghadapi tantangan dan tangan kirinya berjabat tangan memberi arti tidak mengakui Daeng Malino sebagai Raja.
Konsekuensi dari sikap tegasnya itu lalu kolonial Belanda menurunkan serdadu dari Manado untuk menangkap Tombolotutu, namun mendapat perlawanan signifikan kendatipun dengan sejata seadanya, peristiwa ini dikenal perang Lobu bulan september 1898, Tombolotutu dan istrinya Pua Pika serta sembilan pengawalnya selamat dari peristiwa ini, lalu memutuskan bergerilya sebagai strategi perang melawan Belanda, bergerak menuju Bolano membangun kekuatan dan Pertahanan baru dan disambut baik oleh olongian Bolano.
Sebelum perang Bolano pecah, secara diam-diam Tombolotutu berlayar dari pantai Moian menuju Walea menemui saudara tirinya Makarau dan Pawajoi, mendapat dukungan dari saudaranya dan siap membantu melawan Belanda, misi pelayaran berlanjut melintasi laut utara sulawesi hingga ke Tolitoli, sampai disini menarik untuk dicermati bahwa dalam misi pelayaran selain mendapat dukungan luas dari berbagai daerah juga sukses memperluas jaringan ekonomi dan mitra bisnis dengan saudagar dari Bugis, Makasar dan Mandar, misi pelayaran di teluk Tomini hingga laut utara sulawesi yaitu bagian dari perjuangan melawan Belanda.
Kembali ke Bolano, tidak lama kemudian keberadaanya diketahui, maka segera komandan pasukan mengirim telegram pada tanggal 16 oktober 1900 untuk meminta bantuan pasukan dari Manado, lalu diberangkatkan serdadu marsose dan marinir Belanda untuk menyerang Bolano dan benteng Monsologe dari laut, perang Bolano berkuah darah dan terbesar sepanjang sejarah perlawanan Tombolotutu, peritiwa ini disebut perang Bolano pada bulan oktober 1900, perang selesai Belanda menarik pasukan ke Manado awal november 1900.
Tombolotutu dan pasukannya bergerak menuju Tompapopa, suatu daerah terpencil yang sulit di jangkau, ketika itu Pua Pika sedang hamil. diluar dugaan terjadi pembakaran pos-pos pasukan Belanda pada bulan november 1900, peristiwa Tompapopa memicu ketegangan baru dengan Raja Moutong dan kolonial Belanda, pihak kolonial menyadari bahwa Tombolotutu sangat berbahaya sehingga operasi penangkapan di perluas Moutong, Bolano dan Tomini.
Situasi ini menyebabkan Tombolotutu bergerak menuju Sojol, Tambu dan Banawa, di Banawa mendapat sambutan dan dukungan dari Raja Banawa, La Makagili Tamaidoda, beberapa hari kemudian keberadaanya diketahui intelejen Belanda dan Banawa sasaran operasi penangkapan, karena situasi tidak kondusif, misi gerilya lanjut ke Pantoloan, Tambu dan menyeberang lewat gunung menuju Toribulu.
Di Toribulu bertemu dengan serdadu Belanda yang tengah melakukan Patroli di wilayah itu, kontak senjata kedua belah pihak tak terhindarkan, korban pun berjatuhan dan Tombolotutu gugur dalam peritiwa ini. Peristiwa Ujalarit tanggal 17 agustus 1901 mengakhiri perjuangan fisik Tombolotutu. Kisah yang lebih lengkap dapat di baca dalam buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini karya Lukman dkk, menurut Lukman dkk ada empat peristiwa penting yang menyebabkan Tombolotutu sangat terkenal, meninggalnya
Pondatu (1892), diangkatnya Daeng Malino sebagai Raja Moutong (1893), penandatanganan kontrak Moutong dengan Kolonial Belanda (1897), peristiwa Ujalarit (1901).
Dari kisah heroik ini, penulis simpulkan bahwa (1) kepentingan sosial, politik dan ekonomi yang menganga menimbulkan asap dan bara api (2) kesewenangan dan ketidakadilan berlangsung telanjang melahirkan perlawanan dan pertumpahan darah, (3) terdapat prinsip dasar yang melatari sebuah perjuangan seperti yang di yakini Tombolotutu “natuvu naberoka, namate maupa, hidup penuh berkah, mati meninggalkan nama”.*
Penulis :
Syamsu Nadjamuddin (Dewan Penasehat KAHMI Parigi Moutong)
Comments 0