PARIGI MOUTONG – Dahulu kala, sebelum adanya agama dan kerajaan, suku Kaili sangat menjunjung tinggi akan budaya malu yang saat ini mulai hilang. Hal tersebut tertuang dalam sebuah karya film anak daerah Parigi Moutong yang tergabung dalam Komunitas Lolea, berjudul Mpo Dayo lalove.
Film pendek yang berdurasi sekitar 30 menit tersebut, diangkat dari sebuah kisah nyata tentang cinta dan budaya malu yang dijunjung tinggi oleh suku Kaili di zaman dahulu. Membuat ratusan masyarakat Parigi Moutong kagum akan budaya yang ada sejak zaman dahulu.
“Film yang kami buat ini, merupakan kisah nyata yang diceritakan turun temurun dari silsila keluarga yang ada di Desa Lobu Mandiri. Film ini menceritakan bagaimana orang terdahulu sangat menjunjung tinggi budaya malu. Bahkan mereka lebih baik mati dari pada menanggung malu,” ujar sutradara film Mpo Dayo lalove, Iwan Rusman kepada Songulara, pecan lalu.
Dalam film tersebut, dikisahkan sepasang remaja yang menjalin kisah asmara, yakni Gili Manuru dan Saribamba. Saribamba dikisahkan bunuh diri karena malu kentut di depan orang banyak setelah meminta pendapat dari ayahnya, yang mengatakan bahwa budaya suku Kaili lebih baik mati daripada menanggung malu.
Sementara kekuatan cinta sang kekasihnya Gili Manuruh yang ikut serta di makamkan bersama Saribamba dalam satu makam. Konon ceritanya, Gili Manuru dimakamkan dalam keadaan meniup lalove untuk kekasihnya yang telah meninggal.
Suara lalove Gili pun terdengan dari dalam makamnya selama tujuh hari, semakin lama suara tiupan lalove tersebut semakin melemah hingga menghilang, bertanda Gili manuru telah meninggal didalam makam kekasihnya.
Iwan menjelaskan, pesan yang disampaikan dalam film tersebut sangat banyak, terutama soal budaya malu yang katanya saat ini sedikit demi sedikit sudah mulai memudar. Bahkan hanya karena kentut atau buang angin di depat orang banyak, orang terdahulu kita rela mati ketimbang harus menanggung malu. Tetapi saat ini kata dia, korupsi secara terang terangan pun tak menjadi persoalan bagi pelakunya.
Selain itu, tujuan pembuatan film tersebut katanya untuk mengangkat budaya Parigi Moutong, agar banyak orang tahu seperti inilah budaya yang ada di daerah ini. Kedepan, pihaknya akan terus berkarya dan mengangkat budaya yang ada di Parigi Moutong dalam bentuk film.
Ia menambahkan, dalam proses pembuatan film tersebut, pihaknya juga melibatkan masyarakat sekitar. Diakuinya, selama proses pembuatan sempat mengalami berbagai kendala, tetapi tidak menjadi penghalang bagi mereka dalam berkarya. Pembuatan film yang memakan waktu sekitar tiga hari tersebut menggunakan fasilitas seadanya dan pendanaan dari hasil tambah tambah tim Lolea picture.
Ia berharap, karya mereka tersebut dapat dilirik oleh sutradara dan produser film yang sudah ternama di Indonesia. Karena selain kisahnya nyata, banyak pelajaran berharga yang bisa di petik dari kisah tersebut. IWAN TJ